Salam
Apakah hukum:
1. Berutus surat kepada tunang?
2. Berbual dengan tunang di telefon?
3. Bertemu tunang (berdua) ditempat terbuka?
4. Meluahkan perasaan cinta dan kasih sayang kepada tunang?
Dengan menjaga segala batasan syariat serta dalam situasi sekadar yang diperlukan, bukan kebiasaan.
Sekian, Wassalam
Salam
1&2) Persoalan boleh atau tidak berbual melalui telefon berkait rapat dengan soal aurat. Adakah suara wanita itu aurat? jumhurul Ulama' lebih kepada menyatakan tidak aurat kerana ia selari dengan prinsip agama Islam sebagai adDin Yusr (agama yang mudah); ini kerana wanita sebagai makhluk sosial seperti lelaki perlu berkomunikasi dalam kehidupan sehariannya, maka jika suara wanita itu aurat, maka sukarlah bagi wanita berkomunikasi. Auratnya suara wanita bergantung kepada kelembutan dan kemerduan suara wanita itu.
Dalil ialah ayat 32 dalam surah al_Ahzab
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertakwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu) dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan).
Hujjatul Islam alGhazali (Ihya', Jld 2, ms 248) berpendapat, suara wanita bukanlah aurat kecuali bila ia menyanyi.' alQurthubi (tafsir al_Qurthubi dalam ayat di atas menafsirkan bahawa suara wanita bukan aurat kecuali bila ia memerdukan, melunakkan, melembutkan suaranya semasa berhubung dengan lelaki ajnabi." Syaikh Atiyah Saqr, pengerusi J/kuasa fatwa al_Azhar university juga bersependapat dengan ulama' silam tersebut (Seem wal jeem lil Mar'atil muslimah); inilah juga pendapat Prof Qardhawi (Fatawa Mu'asirat)
Dengan hujah di atas maka disimpulkan bahawa Suara wanita tidak aurat dan boleh berbual dgn wanita melalui telefon. Denga syarat dipelihara nada suara dan adab/etika menundukkan jiwa supaya tidak naik syahwat. (Qardhawi, FM)
Perbahasan utk soalan anda yang pertama adalah lebih kurang sama yakni selagi adab/etika penulisan itu dipelihara maka ia dibenarkan.
3)Pertemuan dgn tunang diharuskan samada ditemankan muhrim wanita, jika tanpa muhrim pun diharuskann tapi hendaklah di tempat terbuka yg tidak mendatangkan fitnah, dengan mematuhi etika pakaian dan adab berbual yg syara'iy. Nabi saw memerintahkan pasangan yg akan bertunang itu supaya saling melihat, sabda baginda saw kepada seorang lelaki yg ingin meminang seseorang perempuan Ansar," pergilah lihat, kerana sesungguhnya pada muka kaum Ansar itu mungkin ada sesuatu yg kurang." HR Muslim dan anNasa'iy dari Abi Hurairah ra.
4) Cinta adalah suci, cinta dalam bentuk apapun dibolehkan oleh syara' asalkan tidak dikotori dengan niat dan aksi kotor; ia mestilah tidak bercanggah dengan hukum-hukum syara' dan diiringi dengan cinta yang diredhai oleh Allah. Cinta sejati boleh dibina sebelum berkahwin asalkan cinta yang direstui agama, dilahir dan dipupuk melalui saluran agama. Islam tidak menentang cinta kerana cintalah asas dalam ibadah antara hamba dengan Penciptanya; manakala cinta jugalah asas kepada pembentukan sebuah keluarga Islam yang harmonis. Cinta yang dibenteras oleh Islam ialah cinta yang dicemari oleh maksiat dan menuruti hawa nafsu; manakala mereka yang memupuk cinta tapi tetap berpegang kepada ajaran Allah dan mengikuti saluran syara' adalah diharuskan oleh syara' dan seterusnya memadu cinta melalui jalan pernikahan yang sah dan halal.
Persoalan saudara yang ke-4 ini berkait dengan batas pergaulan. Batas pergaulan antara lelaki dan perempuan harus di jaga walaupun sudah bertunang. Tunang bukanlah sesuatu ikatan yang menghalalkan perkara yang haram sebelum berkahwin. Apakah batas pergaulan antara lelaki dan perempuan?
Sepertimana yang dikatakan sebelum ini, dibolehkan untuk kita berbual dengan tunang selagi dipelihara nada suara dan adab/etika menundukkan jiwa supaya tidak naik syahwat. Dengan jawapan ini, cukuplah untuk diri kita menilai akan kebolehan meluahkan perasaan cinta itu. Kalaulah luahan itu membolehkan naik syahwat, maka haramlah hukumnya. Sekiranya anda pandai mengolah kata-kata, seperti diselitkan antara lawak jenaka denga luahan itu, bagaimana mungkin ia boleh menaikkan syahwat. Walaupun begitu kita haruslah berjaga-jaga, kerana syaitan sentiasa mengatur strategi dlm menghumbankan kita ke dalam kesesatan dan kemungkaran. Sekiranya kita ragu-ragu, adalah lebih baik dijauhkan perkara2 yang membolehkan kita jatuh ke kancah maksiat. WA
Rujukan
Fatwa Sheikh Dr. Yusuf Qardawi
SJ-1027: Bertunang tapi tak pernah bertemu
SJ-926: Batasan semasa pertunangan
SJ 723: Pertunangan dalam Islam
SJ-2107: Perkahwinan dalam Islam
Bolehkah bercinta sebelum kahwin?
============================================
Fatwa-fatwa Kontemporer
BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN? Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui
lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran
itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami mainkan musik. Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat
dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at yang berarti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya
itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara
resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).
JAWABAN
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan
mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke sana.
Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga
membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin
dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang
mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Al Baqarah: 235)
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
"Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap
merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya.
Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut
syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu
yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.
Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum
terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang.Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang
mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan
(menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga.
Allah berfirman:
"Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ..." (Al Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu
panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan
cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya
sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.
Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya
itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan,
maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki,
mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas
yang halal dan melakukan yang haram.
Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.
"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 229)
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nur: 52)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
===================================
No comments:
Post a Comment